Kamis, 05 Januari 2012

Hukum di Indonesia Sebanding dengan Sandal ?

Negara Demokrasi, itulah Indonesia. Tapi akhir-akhir ini, aku merasa ada yang tidak waras dalam hukum di negara ini [damai]. Banyak kasus-kasus yang bisa dibilang ringan -apalagi jika dibandingkan dengan kasus para pemakan uang rakyat-, yang sampai dibawa ke meja hijau. Kasus-kasus itu dialami oleh seorang ibu, anak-anak, bahkan seorang nenek. Berikut kisah 'tragis' mereka.

I. Kisah Prita, Ibu 2 Anak
Masih ingatkah kalian dengan kisah seorang ibu yang dimasukkan ke LPM Wanita di Tangerang hanya karna curhatnya melalui surat elektronik yang menyebar di internet mengenai layanan RS Omni Internasional Alam Sutera? 
Berikut ini surat Prita yang membuatnya masuk ke penjara : 

" RS OMNI DAPATKAN PASIEN DARI HASIL LAB FIKTIF

Prita Mulyasari - suaraPembaca

Jangan sampai kejadian saya ini menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.

Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandar International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.

Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah trombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr I (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.

dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.

Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.

Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.

Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.

Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.

Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.

Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr H saja.

Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.

Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri.

dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.

Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.

Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.

Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.

Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis.

Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan manajemen. Atas nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya.

Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.

Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.

Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.

Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.

Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut.

Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah.

Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.

Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum.

Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.

Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.

Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.

Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.

Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.

Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.

Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan.

Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.

Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.

Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.


Salam,
Prita Mulyasari
Alam Sutera "
 
II. Nenek 55 Tahun dan 3 Biji Kakao
Hanya karena tiga buah kakao, seorang nenek berusia 55 tahun harus menjalani sidang karena tuduhan mencuri.
Minah (55) harus tertunduk lemas dihadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, pada hari  Kamis (19/11) saat menghadiri sidang kasusnya tersebut.
Minah memaparkan pembelaan dirinya dihadapan majelis hakim tanpa didampingi pengacara.
Minah dituduh telah mencuri tiga buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan 4, pada bulan Agustus silam.
Minah menjelaskan, bahwa dirinya memetik tiga buah kakao untuk dijadikannya bibit.
Minah juga menjelaskan bahwa sebelumnya dia telah memiliki sekitar 200 bibit kakao. Karena menurutnya masih dirasa kurang, maka ia memetik buah kakao di area perkebunan milik PT RSA 4.
Namun saat memetik kakao, pengawas perkebunan memergokinya, saat itu Minah mengaku langsung meminta maaf kepada Sutarno, pengawas perkebunan yang menegurnya tersebut serta meminta ijin agar kakao yang telah dipetiknya tersebut dapat dibawa pulang.
Menurut Minah, Sutarno telah memaafkannya, namun manajemen PT RSA 4 malah melaporkan dirinya ke Kepolisian Sektor Ajibarang pada akhir bulan Agustus lalu.
Kaget bahwa dirinya harus berusuan dengan pihak berwajib, nenek tujuh cucu yang juga tidak dapat membaca ini akhirnya mendatangi kepolisian.
Setelah berkasnya masuk ke Kejaksaan Negeri Purwokerto, Minah terpaksa menjalani hukuman rumah.
Terhitung sejak tanggal 13 Oktober hingga 1 November 2009.
Minah juga harus mondar-mandir untuk proses pemeriksaan memenuhi panggilan Kejaksaan dan mengikuti proses persidangan.
Untuk menghadiri pemeriksaan dan persidangan, Minah harus menempuh jarak hampir 30 kilometer dari rumahnya yang berada di sebuah dusun.
Di saat banyaknya berbagai kasus korupsi yang menimpa negeri ini, serta melibatkan berbagai pihak dengan jumlah uang yang tidak sedikit, kasus Minah ini menambah pelik rasa keadilan di negeri ini.
Minah yang memiliki tujuh orang cucu serta buta aksara tersebut, harus melalui proses hukum yang kasusnya terbilang ringan, dibandingkan kasus koruptor negeri ini.
Saat persidang, majelis hakim mendengarkan penuturan Minah yang mengatakan bahwa dirinya harus mengeluarkan sedikitnya Rp 50.000 untuk datang ke pengadilan.
"Saya terkadang diongkosi sama anak saya," tuturnya.
Minah juga mengaku, bahwa untuk mendapatkan uang sebanyak itu saja sudah sangat sulit, terlebih lagi dirinya harus membiayai kehidupan keluarga dan anak-anaknya.
Bahkan Minah mengaku, bahwa dirinya pernah diberi uang oleh Jaksa Penuntut Umum, Noor Haniah, untuk ongkosnya pulang.
"Saya pernah diberi Rp 50.000 oleh ibu jaksa untuk ongkos pulang," tuturnya.
Mendengar pembelaan serta keterangan Minah, majelis hakim memutuskan hukuman penjara 1 bulan 15 hari. Namun hakim juga menegaskan, bahwa Minah tidak perlu menjalani hukumannya tersebut dengan syarat dirinya harus berkelakuan baik selama tiga bulan percobaan.
M. Bambang Loqmono, Ketua Majelis Hakim dalam persidangan tersebut menjelaskan, bahwa dirinya sangat tersentuh dengan kasus Minah ini.
Bambang mengakui, bahwa dirinya harus mengetuk palu sidang sambil membacakan hukuman yang dijatuhkannya tersebut dengan mata berkaca dan suara terpatah-patah, karena menahan sedih melihat Minah.

III. AAL dengan Sandal Jepit
Dan kisah yang masih hangat akhir-akhir ini berasal dari pelajar sebuah sekolah menengah kejuruan negeri berinisial AAL yang melakukan kegiatan iseng, dia mencuri sepasang sandal jepit milik oknum anggota polisi. Akibatnya tak main-main, selain diinterogasi, bahkan dipukuli dengan tangan dan benda tumpul, dia juga terancam lima tahun bui. Kini kasusnya sedang diproses di pengadilan.
Simpati publik pun menyeruak. Berbagai elemen masyarakat didukung oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat, beramai-ramai mengadu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Di sejumlah daerah berdiri posko pengumpulan sandal jepit, untuk diberikan pada oknum polisi, Briptu AR. Supaya dia tidak perlu beli sandal seumur hidup.
Kasus AAL tak hanya menjadi perhatian publik nasional. Dunia pun memberitakan skandal sandal jepit ini.
Sejumlah media internasional memberitakan kasus ini. Misalnya situs The News Zealand Herald, hari ini memuat berita berjudul, “Indonesia’s new symbol for injustice: Sandals” atau “Simbol ketidakadilan di Indonesia: Sandal" ( sangat memalukan ).
Berita senada juga dimuat media lainnya, yakni, Washington Post, Boston Globe, Hindustan Time, dan CTV Winnipeg. Mereka juga menyoroti soal diskriminasi hukum yang terjadi di Indonesia.


Sebenarnya, masih banyak kasus yang setipe dengan kasus-kasus di atas. Contohnya, kasus anak SD yang diadili karna memungut buah sawit dan pembantu yang mencuri 6 piring dan semangkuk sup. Bagaimana dengan kisah para koruptor? Betapa anehnya hukum di negara kita? Kalian bisa menilainya sendiri :)

Selasa, 03 Januari 2012

Radith Si Kambing Jantan

Dika Angkasa Moerwani atau yang biasa dipanggil Raditya Dika ( nahlo, nama Raditya darimana ya? ) lahir di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1984. Radith ( begitu sapaannya ) bekerja sebagai seorang penulis buku-buku jenaka. Pada awalnya, dia menulis semua ceritanya di dalam blog pribadinya : http://radityadika.com/, yang kemudian tulisan-tulisa tersebut disajikan dalam sebuah buku. Buku gila satu ini sangat laris dan berhasil menjadi best seller. Buku ini menceritakan kehidupan seorang Dikung yang merupakan dirinya sendiri. Nama Dikung sendiri dia dapatkan ketika kuliah di Australia.

Buku pertamanya berjudul Kambing Jantan : Sebuah Catatan Harian Pelajar Bodoh terbit pada tahun 2005, menceritakan tentang kehidupan Radith sebagai Dikung, artinya kehidupannya selama kuliah di Adelaide, Australia. Kisahnya sangat menarik, menceritakan tentang kehidupan pelajar bodoh dari Indonesia yang berkuliah di luar negeri.


Buku keduanya berjudul Cinta Brontosaurus ( sangar banget judulnya ) diterbitkan setahun setelah buku pertamanya muncul. Buku ini tetap menceritakan tentang kehidupan pribadi Radith tepatnya tentang kisah asmaranya. Isi dari buku ini meliputi kisah dari sewaktu Radith mengirim surat cinta pertama ke teman saat SD hingga pengalaman Radith memerhatikan kucing Persia-nya yang jatuh dengan kucing kampung tetangganya ( kucingnya nampung eksistensi ).



Judul buku ketiganya lebih dahsyat nih, Radius Makankakus : Bukan Bintang Biasa terbit pada tahun 2007. Buku ketiga ini mengisahkan Radith yang pernah menjadi badut Monas dalam sehari, mengajar bimbingan belajar, lalu saat Radith dikira hantu penunggu WC, sampai cerita mengenai kutukan orang NTB ( ini orang ada-ada aja ya tingkahnya [antara kagum sama heran] ).

Buku keempatnya memiliki judul yang rada horor, Babi Ngesot : Datang Tak Diundang Pulang Tak Berkutang [gubrak]. Buku yang menceritakan tentang hal-hal misteri hingga per-plonco-an dari senior pada masa sekolahnya ini terbit pada tahun 2008.

Tak cukup sampai disitu. Setelah sukses di dunia perblogan dan perbukuan, Radith mulai mencoba menjajalkan diri ke dunia perfilman. Bahkan, dia menjadi pemeran utama dalam film yang mengkisahkan kisah hidupnya, Kambing Jantan : The Movie. Film ini berawal dari kelahiran Radith sampai dia menjadi penulis sukses, tidak ketinggalan kisah cintanya dengan si Kebo ( panggilan kesayangan buat ceweknya ). Bagi para pecinta film, rugi deh kalau gak liat film ini [promosi] :D

 

Kamis, 05 Januari 2012

Hukum di Indonesia Sebanding dengan Sandal ?

Negara Demokrasi, itulah Indonesia. Tapi akhir-akhir ini, aku merasa ada yang tidak waras dalam hukum di negara ini [damai]. Banyak kasus-kasus yang bisa dibilang ringan -apalagi jika dibandingkan dengan kasus para pemakan uang rakyat-, yang sampai dibawa ke meja hijau. Kasus-kasus itu dialami oleh seorang ibu, anak-anak, bahkan seorang nenek. Berikut kisah 'tragis' mereka.

I. Kisah Prita, Ibu 2 Anak
Masih ingatkah kalian dengan kisah seorang ibu yang dimasukkan ke LPM Wanita di Tangerang hanya karna curhatnya melalui surat elektronik yang menyebar di internet mengenai layanan RS Omni Internasional Alam Sutera? 
Berikut ini surat Prita yang membuatnya masuk ke penjara : 

" RS OMNI DAPATKAN PASIEN DARI HASIL LAB FIKTIF

Prita Mulyasari - suaraPembaca

Jangan sampai kejadian saya ini menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.

Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandar International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.

Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah trombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr I (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.

dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.

Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.

Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.

Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.

Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.

Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.

Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr H saja.

Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.

Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri.

dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.

Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.

Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.

Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.

Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis.

Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan manajemen. Atas nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya.

Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.

Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.

Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.

Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.

Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut.

Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah.

Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.

Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum.

Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.

Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.

Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.

Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.

Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.

Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.

Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan.

Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.

Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.

Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.


Salam,
Prita Mulyasari
Alam Sutera "
 
II. Nenek 55 Tahun dan 3 Biji Kakao
Hanya karena tiga buah kakao, seorang nenek berusia 55 tahun harus menjalani sidang karena tuduhan mencuri.
Minah (55) harus tertunduk lemas dihadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, pada hari  Kamis (19/11) saat menghadiri sidang kasusnya tersebut.
Minah memaparkan pembelaan dirinya dihadapan majelis hakim tanpa didampingi pengacara.
Minah dituduh telah mencuri tiga buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan 4, pada bulan Agustus silam.
Minah menjelaskan, bahwa dirinya memetik tiga buah kakao untuk dijadikannya bibit.
Minah juga menjelaskan bahwa sebelumnya dia telah memiliki sekitar 200 bibit kakao. Karena menurutnya masih dirasa kurang, maka ia memetik buah kakao di area perkebunan milik PT RSA 4.
Namun saat memetik kakao, pengawas perkebunan memergokinya, saat itu Minah mengaku langsung meminta maaf kepada Sutarno, pengawas perkebunan yang menegurnya tersebut serta meminta ijin agar kakao yang telah dipetiknya tersebut dapat dibawa pulang.
Menurut Minah, Sutarno telah memaafkannya, namun manajemen PT RSA 4 malah melaporkan dirinya ke Kepolisian Sektor Ajibarang pada akhir bulan Agustus lalu.
Kaget bahwa dirinya harus berusuan dengan pihak berwajib, nenek tujuh cucu yang juga tidak dapat membaca ini akhirnya mendatangi kepolisian.
Setelah berkasnya masuk ke Kejaksaan Negeri Purwokerto, Minah terpaksa menjalani hukuman rumah.
Terhitung sejak tanggal 13 Oktober hingga 1 November 2009.
Minah juga harus mondar-mandir untuk proses pemeriksaan memenuhi panggilan Kejaksaan dan mengikuti proses persidangan.
Untuk menghadiri pemeriksaan dan persidangan, Minah harus menempuh jarak hampir 30 kilometer dari rumahnya yang berada di sebuah dusun.
Di saat banyaknya berbagai kasus korupsi yang menimpa negeri ini, serta melibatkan berbagai pihak dengan jumlah uang yang tidak sedikit, kasus Minah ini menambah pelik rasa keadilan di negeri ini.
Minah yang memiliki tujuh orang cucu serta buta aksara tersebut, harus melalui proses hukum yang kasusnya terbilang ringan, dibandingkan kasus koruptor negeri ini.
Saat persidang, majelis hakim mendengarkan penuturan Minah yang mengatakan bahwa dirinya harus mengeluarkan sedikitnya Rp 50.000 untuk datang ke pengadilan.
"Saya terkadang diongkosi sama anak saya," tuturnya.
Minah juga mengaku, bahwa untuk mendapatkan uang sebanyak itu saja sudah sangat sulit, terlebih lagi dirinya harus membiayai kehidupan keluarga dan anak-anaknya.
Bahkan Minah mengaku, bahwa dirinya pernah diberi uang oleh Jaksa Penuntut Umum, Noor Haniah, untuk ongkosnya pulang.
"Saya pernah diberi Rp 50.000 oleh ibu jaksa untuk ongkos pulang," tuturnya.
Mendengar pembelaan serta keterangan Minah, majelis hakim memutuskan hukuman penjara 1 bulan 15 hari. Namun hakim juga menegaskan, bahwa Minah tidak perlu menjalani hukumannya tersebut dengan syarat dirinya harus berkelakuan baik selama tiga bulan percobaan.
M. Bambang Loqmono, Ketua Majelis Hakim dalam persidangan tersebut menjelaskan, bahwa dirinya sangat tersentuh dengan kasus Minah ini.
Bambang mengakui, bahwa dirinya harus mengetuk palu sidang sambil membacakan hukuman yang dijatuhkannya tersebut dengan mata berkaca dan suara terpatah-patah, karena menahan sedih melihat Minah.

III. AAL dengan Sandal Jepit
Dan kisah yang masih hangat akhir-akhir ini berasal dari pelajar sebuah sekolah menengah kejuruan negeri berinisial AAL yang melakukan kegiatan iseng, dia mencuri sepasang sandal jepit milik oknum anggota polisi. Akibatnya tak main-main, selain diinterogasi, bahkan dipukuli dengan tangan dan benda tumpul, dia juga terancam lima tahun bui. Kini kasusnya sedang diproses di pengadilan.
Simpati publik pun menyeruak. Berbagai elemen masyarakat didukung oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat, beramai-ramai mengadu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Di sejumlah daerah berdiri posko pengumpulan sandal jepit, untuk diberikan pada oknum polisi, Briptu AR. Supaya dia tidak perlu beli sandal seumur hidup.
Kasus AAL tak hanya menjadi perhatian publik nasional. Dunia pun memberitakan skandal sandal jepit ini.
Sejumlah media internasional memberitakan kasus ini. Misalnya situs The News Zealand Herald, hari ini memuat berita berjudul, “Indonesia’s new symbol for injustice: Sandals” atau “Simbol ketidakadilan di Indonesia: Sandal" ( sangat memalukan ).
Berita senada juga dimuat media lainnya, yakni, Washington Post, Boston Globe, Hindustan Time, dan CTV Winnipeg. Mereka juga menyoroti soal diskriminasi hukum yang terjadi di Indonesia.


Sebenarnya, masih banyak kasus yang setipe dengan kasus-kasus di atas. Contohnya, kasus anak SD yang diadili karna memungut buah sawit dan pembantu yang mencuri 6 piring dan semangkuk sup. Bagaimana dengan kisah para koruptor? Betapa anehnya hukum di negara kita? Kalian bisa menilainya sendiri :)

Selasa, 03 Januari 2012

Radith Si Kambing Jantan

Dika Angkasa Moerwani atau yang biasa dipanggil Raditya Dika ( nahlo, nama Raditya darimana ya? ) lahir di Jakarta pada tanggal 28 Desember 1984. Radith ( begitu sapaannya ) bekerja sebagai seorang penulis buku-buku jenaka. Pada awalnya, dia menulis semua ceritanya di dalam blog pribadinya : http://radityadika.com/, yang kemudian tulisan-tulisa tersebut disajikan dalam sebuah buku. Buku gila satu ini sangat laris dan berhasil menjadi best seller. Buku ini menceritakan kehidupan seorang Dikung yang merupakan dirinya sendiri. Nama Dikung sendiri dia dapatkan ketika kuliah di Australia.

Buku pertamanya berjudul Kambing Jantan : Sebuah Catatan Harian Pelajar Bodoh terbit pada tahun 2005, menceritakan tentang kehidupan Radith sebagai Dikung, artinya kehidupannya selama kuliah di Adelaide, Australia. Kisahnya sangat menarik, menceritakan tentang kehidupan pelajar bodoh dari Indonesia yang berkuliah di luar negeri.


Buku keduanya berjudul Cinta Brontosaurus ( sangar banget judulnya ) diterbitkan setahun setelah buku pertamanya muncul. Buku ini tetap menceritakan tentang kehidupan pribadi Radith tepatnya tentang kisah asmaranya. Isi dari buku ini meliputi kisah dari sewaktu Radith mengirim surat cinta pertama ke teman saat SD hingga pengalaman Radith memerhatikan kucing Persia-nya yang jatuh dengan kucing kampung tetangganya ( kucingnya nampung eksistensi ).



Judul buku ketiganya lebih dahsyat nih, Radius Makankakus : Bukan Bintang Biasa terbit pada tahun 2007. Buku ketiga ini mengisahkan Radith yang pernah menjadi badut Monas dalam sehari, mengajar bimbingan belajar, lalu saat Radith dikira hantu penunggu WC, sampai cerita mengenai kutukan orang NTB ( ini orang ada-ada aja ya tingkahnya [antara kagum sama heran] ).

Buku keempatnya memiliki judul yang rada horor, Babi Ngesot : Datang Tak Diundang Pulang Tak Berkutang [gubrak]. Buku yang menceritakan tentang hal-hal misteri hingga per-plonco-an dari senior pada masa sekolahnya ini terbit pada tahun 2008.

Tak cukup sampai disitu. Setelah sukses di dunia perblogan dan perbukuan, Radith mulai mencoba menjajalkan diri ke dunia perfilman. Bahkan, dia menjadi pemeran utama dalam film yang mengkisahkan kisah hidupnya, Kambing Jantan : The Movie. Film ini berawal dari kelahiran Radith sampai dia menjadi penulis sukses, tidak ketinggalan kisah cintanya dengan si Kebo ( panggilan kesayangan buat ceweknya ). Bagi para pecinta film, rugi deh kalau gak liat film ini [promosi] :D